Belakangan ini semakin menjamur kelompok-kelompok studi atau
sejenisnya yang menyatakan kelompoknya sebagai kelompok spiritual.
Bahkan kata ‘spiritual’ kini sudah semakin terdengar klise dengan
terjadinya pergeseran makna dalam penggunaannya. Sebagai istilah, ia
telah semakin dikacaukan dengan berbagai
bentuk kanuragan, “pengeleakan”, “pengiwe”, praktek pedukunan,
praktek medium/ cenayang/ “pepeluasan”, atau fenomena okultistik
lainnya, bahkan sampai-sampai mendekati ketakhyulan. Ironis memang. Kata
spiritual, kini semakin kehilangan spirit-nya. Bukan hanya karena
pergeseran-pergeseran pemaknaan seperti itu, akan tetapi berbagai
keterbatasan lahiriah dan naluriah, kecenderungan-kecenderungan serta
pengkondisi-pengkondisi lainnya, telah menyulitkan kita untuk memahami
spirit, sang jiwa, sang roh, “sang dumadi”, “sanghyang urip” yang ada
pada setiap makhluk berjiwa, yang justru merupakan isu utama dunia
spiritual.
Walaupun pengetahuan tentang spiritualitas dapat dipelajari dari
buku-buku atau didengarkan lewat ceramah-ceramah, namun kehidupan
spiritual itu sendiri harus dijalani, harus dialami secara langsung
sendiri; ia harus dilakoni. Ia bukanlah sesuatu yang bersifat teoritis,
yang terdiri dari susunan dari berbagai konsep dan pemikiran-pemikiran
ataupun produk intelek semata. Bila Anda masih memandangnya demikian
hingga detik ini, sudahilah; hapuslah sangkaan itu dari benak Anda.
Selama seseorang masih membeda-bedakan (diskriminatif) semata-mata
hanya berdasarkan ras, keturunan, warna kulit, suku, kebangsaan, jenis
kelamin, agama, usia, pangkat, jabatan, profesi, kekayaan, status sosial
dan kwalitas duniawi yang merupakan produk dari pandangan kasat, maka
ia sebetulnya belum benar-benar siap untuk memasuki kehidupan spiritual
manapun.
Walaupun ke-niskala-an adalah keniscayaan adanya, namun kecenderungan
indriawi serta pola-pikir yang serba kasat-indria telah menghalangi
kita untuk dapat melihat keniscayaannya. Al hasil, spiritualitas tetap
kabur di mata kita. Ia tetap menyisakan pertanyaan yang mesti dijawab
sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar